Kenapa Mantan Pelatih Chelsea Ini Disebut 'The Tinkerman'?
Jika kamu adalah fans setia The Blues -Chelsea- sejak puluhan tahun yang lalu, tentu kamu tidak asing dengan istilah The Tinkerman. Yups, istilah the tinkerman adalah sebutan yang disematkan kepada mantan pelatih Chelsea yang kini menukangi Leicester City, Claudio Ranieri.
Pertanyaannya adalah, Kenapa pelatih asal Italia itu disebut the tinkerman? Berikut jawabannya...
Arti / Pengertian Istilah The Tinkerman
Kamus Inggris versi Collins, mencantumkan kata “tinkerman” dalam salah satu istilah yang dijelaskan. Hal itu merujuk kepada sosok pelatih Claudio Ranieri.
“A manager or coach who continually experiments by changing the personnel or formation of a team from game to game,” tulis kamus tersebut soal penjelasan kata “tinkerman” (sumber: Kompas)
“A manager or coach who continually experiments by changing the personnel or formation of a team from game to game,” tulis kamus tersebut soal penjelasan kata “tinkerman” (sumber: Kompas)
Secara sederhana, kalimat tersebut dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan dengan seorang menejer yang secara berkelanjutan melakukan experiment dengan mengganti formasi atau personil dari satu pertandingan kepertandingan selanjutnya.
Yups, pelatih asal Italia ini terkenal rajin menggonta-ganti pemain dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya. Lihat saja, saat ia masih aktif menjadi juru taktik Chelsea, hanya ada beberapa pemain saja yang mendapat kesempatan bermain rutin saat ia masih menjadi pelatih. Mereka adalah Carlo Cudicini, William Gallas, dan Frank Lampard.
Kebiasaan itu dimulai Ranieri ketika menangani Chelsea pada 2002-2003. Dia bisa dibilang menentang arus karena kebanyakan pelatih masih memegang teguh istilah "Don't change the winning team".
Akan tetapi, Ranieri berkilah, "Apabila Anda hanya membutuhkan sebelas pemain inti ditambah tiga atau empat pemain cadangan, mengapa Christopher Columbus harus berlayar ke India untuk menemukan benua Amerika?"
Salah satu tujuan dari kebijakan Ranieri adalah untuk menjaga kondisi fisik Gianfranco Zola yang sudah menginjak usia 35. Zola selalu menjadi starter, tetapi hanya bermain rata-rata 70 menit setiap pertandingan.
Kiper yang direkrut Chelsea pada era Ranieri, Mark Bosnich, mengapresiasi kebijakan tersebut. Menurut dia, pemain akan terus membumi. Namun, tak seluruh anggota skuad bisa menerima kebiasaan Ranieri.
"Kebiasaan mengutak-atik tim tidak bagus untuk kelangsungan tim. Kadang, Ranieri mengalami masalah dengan beberapa pemain besar di tim," kata Bosnich.
Rotasi ala Ranieri sering diterapkan ketika Chelsea melakoni jadwal padat, salah satunya pada akhir Desember 2002. Chelsea harus menghadapi Southampton, Leeds United, dan Arsenal dari Boxing Day 2002 hingga Tahun Baru 2003.
Formula rotasi Ranieri justru tak ampuh. Chelsea gagal memenangi tiga laga tersebut, bahkan dua di antaranya berakhir dengan kekalahan.
Rentetan hasil negatif memaksa Chelsea terlempar dari zona dua besar. Sejak itu, mereka tak pernah lagi mendekati puncak klasemen. Untungnya, Chelsea mampu mengakhiri musim di posisi keempat sehingga berhak tampil di Liga Champions untuk musim 2003-2004.
Akan tetapi, Ranieri berkilah, "Apabila Anda hanya membutuhkan sebelas pemain inti ditambah tiga atau empat pemain cadangan, mengapa Christopher Columbus harus berlayar ke India untuk menemukan benua Amerika?"
Salah satu tujuan dari kebijakan Ranieri adalah untuk menjaga kondisi fisik Gianfranco Zola yang sudah menginjak usia 35. Zola selalu menjadi starter, tetapi hanya bermain rata-rata 70 menit setiap pertandingan.
Kiper yang direkrut Chelsea pada era Ranieri, Mark Bosnich, mengapresiasi kebijakan tersebut. Menurut dia, pemain akan terus membumi. Namun, tak seluruh anggota skuad bisa menerima kebiasaan Ranieri.
"Kebiasaan mengutak-atik tim tidak bagus untuk kelangsungan tim. Kadang, Ranieri mengalami masalah dengan beberapa pemain besar di tim," kata Bosnich.
Rotasi ala Ranieri sering diterapkan ketika Chelsea melakoni jadwal padat, salah satunya pada akhir Desember 2002. Chelsea harus menghadapi Southampton, Leeds United, dan Arsenal dari Boxing Day 2002 hingga Tahun Baru 2003.
Formula rotasi Ranieri justru tak ampuh. Chelsea gagal memenangi tiga laga tersebut, bahkan dua di antaranya berakhir dengan kekalahan.
Rentetan hasil negatif memaksa Chelsea terlempar dari zona dua besar. Sejak itu, mereka tak pernah lagi mendekati puncak klasemen. Untungnya, Chelsea mampu mengakhiri musim di posisi keempat sehingga berhak tampil di Liga Champions untuk musim 2003-2004.
Komentar
Posting Komentar